Musim Semi Film Islami

Informasi Haji dan Umrah

» » Musim Semi Film Islami

Film-film Islam susul menyusul menyala di bioskop. Masih kesulitan soal pendanaan. Seberapa besar kue bisnis ini?

Rindu Ke Baitullah - Membius penonton surat Yasin itu. Mereka menyimak. Menikmati. Terharu, berusaha membendung air mata. Beberapa orang tak kuasa. Air mata mereka meleleh dan bahkan sejumlah orang menangis sesunggukan. Lantunan surat Yasin itu menyusup hingga ke relung jiwa yang paling sunyi.

Ini bukan di sebuah pengajian akbar. Tapi di bioskop. Tempat kita lazim menyaksikan film-film laga, kisah romantika, atau aksi para hantu yang mengaduk nyali. Yang membuat para penonton di Blok M Square itu termenung di kursi adalah film Haji Backpacker. Pada Kamis, 2 Oktober 2014 itu, orang-orang antre demi menonton film ini.

Si pelantun Yasin itu adalah Abimana, lakon utama dalam film ini. Lakon perempuan bernama Laura Basuki. Hampir  dua jam lamanya, Abimana dan Laura menerbangkan jiwa penonton ke Sembilan kota terindah di dunia, tempat si Haji Backpacker itu melintas sebelum tiba di Tanah Suci.

Film ini memilih setting di rumah produksi Falcon Pictures. Rumah produksi itu sukses mengangkut keindahan kota-kota itu ke layar lebar. Film ini sukses besar. Kota-kota permai yang disiram lantunan Yasin, sungguh mengacak batin penonton.

Kesuksesan Haji Backpacker ini sebetulnya sudah bisa diterka sebelum masuk bioskop. Ramai diberitakan media. Ditunggu khayalak ramai. Itu sebabnya, pada pemutaran perdana Kamis lalu itu, orang berjubel di muka loket.

Dua jam sebelum layar menyala, para petugas loket sudah sibuk melayani penonton. Setidaknya 100 orang mengular di depan loket. Hari itu, bioskop nyaris di kuasai penonton Haji Backpacker. Wanita-wanita berjilbab terlihat di hampir semua sudut.

Selain menjual ketokohan Abimana Aryasatya dan Laura Basuki, film ini tentu saja mengandalkan kekuatan kisah. Histeria penonton pecah begitu Laura Basuki dan Abimana Aryasatya muncul di bioskop itu. Dua bintang itu memang datang ke sana pada pemutaran perdana itu.

Kekuatan kisah, yang ditulis sejumlah media sebelum film ini ditayangkan, sukses menarik penonton dari berbagai kota di Indonesia. Dengarlah kisah Isthnaini. Wanita berhijab ini sengaja terbang dari Medan ke Jakarta demi menonton Haji Backpacker.

Dia memang fans berat dengan Laura Basuki, tapi juga jatuh cinta dengan kemasan kisah yang mengaduk hati. “Saya paling sedih pas adegan Mada baca surat Yaasin setelah kematian ibunya. Itu rasanya menyentuh banget," tutur Isthnaini kepada Dream.co.id, sambil sesekali menyeka air mata yang bercucuran di pipi.

****

Beberapa tahun belakangan, sejumlah film bernafaskan Islam ramai diputar di bioskop. Banyak yang sukses. Ayat-ayat Cinta, misalnya, sukses membetot orang ramai tahun 2008. Film yang dibesut sutradara muda Hanung Bramantyo itu meledak di pasaran.  Film yang  dilayarkan dari novel laris karya Habiburrahman El Shirazy itu ditonton 3.581.947 orang. Film ini juga meraih gelar film terpopuler di Indonesia.

Sukses Ayat-ayat Cinta itu menjadi semacam pintu gerbang bagi film-film Islam yang belakangan susul menyusul. Setahun sesudah itu, tahun 2009, pecinta film nasional disuguhi dua sinema Islami berjudul Ketika Cinta Bertasbih  dan seria lanjutannya Ketika Cinta Bertasbih 2. Kedua film ini ditonton tak kurang dari 5.104.027 orang di semua bioskop di seluruh Indonesia.

Setahun sesudah Ayat-ayat Cinta itu, film Sang Pencerah menyala di layar bioskop nasional. Dan hasilnya cukup memuaskan. Setidaknya 1.206.000 tiket habis terjual untuk film tentang kisahpendiri organisasi Muhammadiyah ini. Dan tahun 2013, Film  99 Cahaya di Langit Eropa masuk layar. Film ini ditonton setidaknya 1.189.709 di seluruh Indonesia.

Jumlah penonton yang melambung itu, tentu saja menunjukkan bahwa pasar untuk film-film bernuansa Islam itu cukup gurih. Dan tak susah mencari sebabnya. Mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Bahkan terbesar di dunia. Jumlahnya sekitar 200 juta jiwa. Atau 85,2 persen dari seluruh populasi Indonesia yang jumlahnya 234 juta jiwa.

Meledaknya film-film bernuasa Islam itu, tidak hanya terjadi di Indonesia. Tapi juga di sejumlah negara, yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Dan secara umum kue bisnis di segmen ini juga menggiurkan.

Tengok saja data Global Islamic Economy and Islamic Finance 2013 dari Thomson Reuters. Tak kurang dari US$ 151 miliar atau Rp 1.839,18 triliun uang berputar di kalangan masyarakat muslim untuk sektor media dan rekreasi. Itu data tahun 2012. Angka ini diramalkan bakal melonjak menjadi US$ 205 miliar atau Rp 2.496,9 triliun pada 2018.

Pasar media negara-negara muslim dua tahun belakangan berada di posisi kelima dunia. Di belakang Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Jerman, dan Perancis.  Besarnya kue bisnis segmen ini disambut para pebisnis di sektor ini. “Pasarnya itu terbilang besar karena  mayoritas penduduk Indonesia itu Islam ,” terang Ichwan Persada, produser PT Andalan Sinema Indonesia.

Yang harus diusahakan, lanjutnya, adalah menarik publik  untuk datang ke bioskop. Ayat-ayat Cinta, meledak di pasaran lantaran kisahnya sungguh menyentuh. Film-film ini bisa menjaring penonton dan membesarkan bisnis perfilman nasional. Para penonton film-film Muslim itu umumnya bukan penonton reguler,

Sembari menyeruput teh bernama Dream, Ichwan mengisahkan potensi film segmen Muslim ini.
Film religi, katanya, membutuhkan pemikiran yang  matang. Film ini tak bisa digarap sembarangan lantaran  ada rambu-rambu dan peraturan yang mesti dipatuhi.

Berapa uang yang dibenamkan demi membuat film-film bernuansa Islam ini?  Dengarlah kisah Ichwan, yang juga mengarap film Hijaber in Love itu.  Film itu menghabiskan dana sebesar  Rp 3 miliar. Hingga kini film ini belum terlihat untung ruginya karena proses masih berjalan. “Untuk film La Tahzan bisa dibilang untung, namun tidak etis menyebutkan nominalnya,” kilah Ichwan.

Sayangnya, film-film Islami karya Ichwan tak kunjung dibantu pemilik uang seperti lembaga keuangan syariah. Sineas film religi ini belum pernah mendapatkan pinjaman modal dari lembaga syariah. Para sineas itu kemudian mengandalkan investor individu untuk pembuatan media penyebar dakwah ini.

Meski tak menampik ada beberapa film karyanya yang kurang meledak, Ichwan tak lantas kapok. Ichwan menyakini bahwa nuansa dan konten Islam, khususnya Islam Indonesia, lumayan gurih dari sisi bisnis. Film Islami harus bisa menggambarkan suatu kedamaian dengan penyampaian sederhana, namun menyentuh.

Sutradara ternama Hanung Bramantyo, yang juga ikut menonton di Blok M Kamis 2 Oktober itu, kepada Dream menuturkan bahwa semua film pada prinsipnya menguntungkan. Fenomena hijab yang belakangan kian diminati, kata Hanung, telah membantu lahirnya medium baru genre film di Tanah Air.

“Tapi bukan berarti dengan Islam saja. Penonton di mana pun membutuhkan cerita kultur. Indonesia butuh tontonan. Siapa yang menyangka itu meledak. Indonesia butuh sesuatu baru yang positif,” terang Hanung.

Hanung mengungkapkan bahwa biaya pembuatan film dengan segmen Muslim ini tidak berbeda jauh dengan film-film genre lain. Perbedaan hanya terletak pada nafas pada setiap film itu.  Biaya pembuatan film genre drama dengan lokasi di Jakarta, kata Hanung, bisa menelan biaya Rp 3,5 miliar sampai Rp 4 miliar. Diluar itu selama ini, kisah Hanung, dia juga mengalokasikan uang Rp 1,5 miliar untuk biaya promosi.

Dengan seluruh uang yang keluar itu, Hanung membutuhkan waktu sekitar setahun untuk balik modal. Selain lewat pengelola bioskop, biaya pembuatan film-film Islami juga diperoleh lewat penjualan hak cipta ke pemilik stasiun televisi atau dana-dana sponsor.

*****

Jika para sineas  Indonesia kesulitan mencari pendanaan, para sineas di kawasan Arab justru sebaliknya. Di tanah tandus dan gersang itu, sebuah film bercerita superhero lokal, misalnya, bisa dengan mudah menerima  pendanaan. Baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Lihatlah film  The Black Knight. Film yang berkisah tentang perjuangan putra seorang pangeran Arab dan budak wanita Afrika untuk mencari kemerdekaannya itu, telah mengantongi pembiayaan syariah bernilai US$ 40 juta. Sang produsen membutuhkan biaya US$ 85-90 juta untuk bisa memulai pembuatan film besar ini. Lebih dari separuhnya diharapkan bersumber dari investor UEA.

Selain pendanaan dari negara-negara Arab, film superhero ala Arab ini juga menargetkan pembiayaan dari investor Eropa. Porsinya pun tak main-main. Sekitar  50 persen pendanaan  diharapkan datang dari pemodal bule.  Para investor akan mendapat imbal hasil 120 persen dari setiap penjualan tiket box office, di samping penjualan DVD dan aneka kerjasama lainnya.

Film Antar yang mengambil lokasi syuting di Maroko dan beberapa kota di UEA ini juga dirancang menjadi film trilogi pertama dan diluncurkan pada 2012. Namun satu prestasi dari Antar adalah, film ini menjadi produk pertama yang seluruh biayanya menggunakan dana syariah.

Pengamat ekonomi syariah, Cecep Sudrajat, mengakui bahwa tren film Islami memang sedang menggelora. Aneka judul film sudah menghiasi layar bioskop dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan gaung perkembangan seni tak hanya bergema di bidang perfilman. “Saya melihat di Saudi bahwa seni Islam tidak masuk dalam agenda mereka. Tapi sekarang ini banyak seniman yang justru yang muncul di Saudi. Setahun yang lalu mereka mengadakan pameran seni di Riyadh,” ungkap Cecep.

Cecep menyarankan agar para sineas Indonesia menangkap peluang dari negara-negara di Timur Tengah itu. “Sekarang ini trennya banyak ke Asia Tenggara seperti Malaysia dan Indonesia,” ujarnya.
Tapi sang produser, lanjutnya,  harus bisa menerima sejumlah syarat dan ketentuan agar bisa menerima dana syariah.

Lalu mengapa hanya sedikit lembaga keuangan syariah yang mau memberi bantuan untuk pembiayaan film-film Islami. Bank syariah, jawab Cecep, melihat untung dan ruginya. “Makanya diperlukan pertemuan antara pelaku bisnis dan lembaga keuangan syariah,” ujar Cecep. “Bisnisnya harus komplementer.”

Pertemuan itu tampaknya perlu dihelat. Sebab kue bisnis segmen Muslim ini sesungguhnya besar. Warga dari berbagai kota di Indonesia, yang berduyun ke Blok M Kamis pekan lalu itu, adalah pasar yang subur. (Dream.co.id)

Share

You may also like

Tidak ada komentar

Leave a Reply

Sastra Islami