Dua Mahasiswa Miskin Raih IPK Sempurna

Informasi Haji dan Umrah

» » Dua Mahasiswa Miskin Raih IPK Sempurna

"Kita tidak salah dilahirkan menjadi orang miskin, yang salah adalah ketika kita diwafatkan dalam keadaan miskin."
Rindu Ke Baitullah  - Muhtar Mochamad Solihin (25) dan Khaidir Ali (22) menjadi wisudawan S1 terbaik pada wisuda sarjana ke-94 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Masing-masing mendapatkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3.93 dan 3.86. Keduanya merupakan mahasiswa dari Program Bidik Misi (Bantuan Biaya Pendidikan untuk calon mahasiswa tidak mampu atau miskin)
.
Keduanya membuktikan keterbatasan biaya tidak jadi halangan untuk mencetak prestasi. "Ayahku sudah lama sakit, sehingga tidak bisa bekerja. Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga, ibuku yang bekerja," ujar Muhtar alumni terbaik Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi (Fidkom).

Lantaran kuat untuk mengubah nasib keluarga, anak keenam dari enam bersaudara ini bertekad melanjutkan pendidikan tinggi usai lulus SMA. Dengan modal beragam prestasi di sekolahnya, ia mencoba peruntungan kuliah di UIN Jakarta melalui program Bidik Misi.

"Kita tidak salah dilahirkan menjadi orang miskin, yang salah adalah ketika kita diwafatkan dalam keadaan miskin. Bagi saya miskin itu nasib dan bisa diubah sebagaimana Allah mengatakan hal itu dalam al-Ra`d ayat13," ucapnya.

Untuk menutupi kekurangan keuangan saat kuliah, tak jarang ia pinjam sana-sini dari beberapa temannya. Ia juga ikut kerja part time di berbagai tempat.

"Saya suka mencari informasi lokasi syuting film/sinetron/iklan untuk sekedar bisa mendapatkan makan dan uang demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Biasanya, sehari-semalam hanya mendapatkan Rp 35.000-75.000," kata dia.

Kini setelah lulus, Solihin ingin melajutkan jenjang magister dan membantu ekonomi keluarga. Ia tak berharap pekerjaan ayahnya sebagai penjual es keliling dan ibunya penjual bubur kacang ijo dialami oleh saudara-saudaranya.
"Setelah ini, saya ingin jadi dosen dan wirausaha, sehingga bisa membantu keluarga dan masyarakat."

Tak beda dengan Muhtar, Khaidir juga berasal dari keluarga ekonomi lemah. Ayahnya, Murais, kerja serabutan. Sedangkan ibunya, Wanih, adalah penjual kue ketan.

Ia mengaku bersyukur bisa kuliah di Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI), karena bertemu dengan para calon ulama dunia.

"Semua mahasiswa wajib bisa ngomomg bahasa Arab kayak orang Arab asli. Ketika saya kumpul dengan mereka seolah saya lagi bersama dengan para (calon) ulama," ujar pemuda kelahiran Bekasi, 8 Agustus 1992. (dream.co.id)

Share

You may also like

Tidak ada komentar

Leave a Reply

Sastra Islami